Menuju Politik Berkeadaban Islam
Beberapa tahun terakhir, kita
sering mendengar ungkapan politisasi agama, hingga sebagian masyarakat terkesan
tidak senang dengan kombinasi keduanya.. Ungkapan ini seolah menegaskan bahwa
tidak ada politik dalam agama, dan tidak ada agama dalam politik. Politisasi
agama dan anti politik nampaknya muncul dari dua hal. Pertama, tidak adanya
penerapan etika dalam politik untuk
memberikan akses terhadap kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, pemahaman agama terlalu kaku.
Mengenai faktor pertama, tindakan
politik menghalalkan segala cara selain
perolehan kekuasaan, harta benda, dan bahkan status. Praktik politik seperti
ini tidak menjunjung nilai dan etika, padahal praktik tersebut sudah ada sejak
zaman dahulu hingga saat ini. Kedua, pemahaman agama yang tidak fleksibel dan
moderat menyebabkan seseorang mempunyai sikap anti politik. Bahwa isi kegiatan politik tidak lain hanyalah
perbuatan menyalahgunakan kekuasaan, hukum, dan
perampasan harta benda rakyat.
Padahal, jika kita merujuk pada
kisah hidup Nabi Muhammad SAW, beliau berpolitik sepanjang hidupnya. Kebijakan
yang dilakukan Nabi SAW dalam berpolitik tentunya
untuk kemaslahatan umat dan bukan untuk kepentingan pribadi.
Implementasi pandangan politik
Nabi tercermin dalam beberapa peristiwa
besar seperti peristiwa Hudaibiyah, peperangan-peperangan yang terjadi semasa
hidupnya, dan strategi-strategi yang dikeluarkan untuk menghadapi musuh, serta beberapa musyawarah dan pertimbangan yang dikeluarkan oleh
Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya. Untuk membaca tentang hubungan Islam dan politik, buku terbaru Pak Quraish
Shihab yang berjudul Islam dan Politik sangat direkomendasikan untuk dibaca.
Buku ini mudah dipahami, tidak terlalu tebal, disajikan dengan bahasa yang
ringan dan tidak panjang lebar, serta dibahas sesuai dengan kondisi politik di
Indonesia Salah satu pembahasan menarik mengenai interpreter dalam buku ini
adalah mengenai kampanye Dalam buku tersebut disebutkan bahwa para ahli hukum
Islam menganggap kampanye dilarang dalam Islam, karena merupakan salah satu
bentuk meminta jabatan.
Hal tersebut dilandaskan pada
hadits mengenai larangan meminta jabatan, yaitu:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا
عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ
أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ
مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ
غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya, “Dari ‘Abdurrahman bin
Samurah mengatakan, Nabi saw berkata kepadaku: ‘Wahai Abdurrahman bin Samurah,
janganlah kamu meminta jabatan, sebab jika kamu diberi jabatan dengan tanpa
meminta, maka kamu akan ditolong, dan jika kamu diberinya karena meminta, maka
kamu akan ditelantarkan, dan jika kamu bersumpah, lantas kamu lihat ada suatu
yang lebih baik, maka bayarlah kafarat sumpahmu dan lakukanlah yang lebih
baik’.” (HR Al-Bukhari).
Dalam hadits lain yang berkaitan dengan
larangan meminta jabatan, Abu Musa al-Asy’ari meriwayat:
دَخَلْتُ علَى
النبيِّ صَلَّى اللَّهُ عليه وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِن بَنِي عَمِّي،
فَقالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ: يا رَسولَ اللهِ، أَمِّرْنَا علَى بَعْضِ ما
وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَقالَ الآخَرُ مِثْلَ ذلكَ، فَقالَ: إنَّا
وَاللَّهِ لا نُوَلِّي علَى هذا العَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ، وَلَا أَحَدًا حَرَصَ
عليه
Artinya, “Aku masuk menemui Nabi
saw bersama dua orang sepupuku. Lantas salah satu dari keduanya mengatakan,
‘Wahai Rasulullah! Angkatlah kami sebagai pemimpin atas sebagian wilayah yang
Allah 'Azza wa Jalla kuasakan kepada Anda.’ Yang lain juga mengatakan ucapan
seperti itu. Maka beliau bersabda, ‘Demi Allah, sesungguhnya kami tidak
menyerahkan pekerjaan (jabatan) ini kepada orang yang memintanya atau orang
yang berambisi mengejarnya’.” (HR Muslim).
Quraish Shihab merujuk pada
pendapat para ulama yang mengatakan bahwa mereka dilarang berkampanye atau
meminta jabatan berdasarkan hadits-hadits di atas. Namun ada juga ulama yang membolehkan kampanye dengan alasan
perlunya menghadirkan visi dan misi yang akan menjadi pertimbangan pemilih.
Dalam buku ini beliau melampirkan
beberapa dalil kebolehan berkampanye menurut para ulama, yang di antaranya
adalah firman Allah dalam Al-Quran surah Yusuf ayat 55:
قَالَ
اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Artinya, “Berkata Yusuf, ‘Jadikanlah aku
bendaharawan negara (Mesir). Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga,
lagi berpengetahuan’.” (QS Yusuf : 55).
Meskipun ayat di atas dengan jelas menyebutkan bahwa Nabi Yusuf meminta
posisi bersama raja Mesir saat itu, namun Quraish Shihab membuat catatan penting
bahwa sebelum Nabi Yusuf mengatakan hal tersebut, Raja telah menunjuknya terlebih dahulu. Raja menunjuk Nabi Yusuf ke posisi tinggi yang
membawahi berbagai bidang penting
tatanan kerajaan. Nabi Yusuf pun mengabulkannya, namun hanya dengan
memilih bidang yang sesuai dengan keahliannya, sebagaimana disebutkan dalam
ayat 55 di atas.
Berdasarkan ayat tersebut, Quraish
Shihab menyimpulkan bahwa seseorang boleh mencalonkan dirinya pada jabatan
tertentu yang dikuasainya dan sesuai dengan keahliannya, sepanjang motifnya
untuk kemaslahatan masyarakat. Sebaliknya, sesuai ayat di atas, dalam
proses kampanye dan pencalonan, tidak boleh ada kebohongan atau propaganda yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga
masyarakat tidak obyektif dalam memilih. Buku Islam dan Politik ini
memuat pembahasan menarik hampir di setiap babnya. Dimulai dengan pembahasan
Islam dan politik, politik Rasulullah dan para sahabat, as-siyasah
asy-syar'iyyah, tuntutan para penguasa, pengangkatan kepala negara, serta
beberapa kisah penuh hikmah yang mengandung Tokoh Islam dalam proses
pengambilan keputusan dalam pemerintahan.
Biodata Buku:
Judul : Islam dan Politik,
Perlilaku Politik Berkeadaban
Penulis : M. Quraish Shihab
Cetakan : Pertama, September 2023
Penerbit : Lentera Hati
Jumlah halaman : xvii + 203
Komentar
Posting Komentar